
Wakil presiden Inter Milan, Javier Zanetti membandingkan dua kekalahan menyakitkan di final Liga Champions, yakni melawan Manchester City dan Paris Saint-Germain.
Dalam wawancara panjang bersama Clank di Argentina, legenda Nerazzurri ini membahas berbagai topik, termasuk soal awal kariernya di Italia, masa kejayaan bersama Mourinho, hingga rasa sakit yang ia rasakan dalam dua kekalahan final Liga Champions dalam Tiga tahun terakhir.
Dari Dock Sud ke Milano: Awal Perjalanan Sang Kapten
Zanetti mengenang momen mengejutkan saat dirinya direkrut Inter dari Banfield pada 1995.
“Saat saya mendapat kabar itu, saya sedang di Afrika Selatan bersama tim nasional. Saya tidak percaya. Saya langsung menelepon rumah karena semua orang bilang saya akan dibeli Inter,” ujarnya, seperti dilansir FCInterNews.
Dibesarkan di Dock Sud, lingkungan sederhana di Buenos Aires, Zanetti menghadapi perubahan besar ketika hijrah ke Italia bersama orang tuanya, yang bahkan belum pernah naik pesawat.
“Saat itu Serie A adalah liga terbaik di dunia. Semua pemain top pergi ke sana,”
Transformasi Bersama Mourinho: “Kami Dipaksa Percaya Bisa Juara Liga Champions”
Kisah bersama Jose Mourinho menjadi sorotan utama. Zanetti menyebut metode sang pelatih asal Portugal benar-benar revolusioner.
“Latihan selalu dengan bola, tidak ada gym. Di sesi video pertama, dia menjelaskan semua tentang dirinya dan apa yang dia inginkan dari kami,”
Mourinho bahkan langsung menghubungi Zanetti begitu resmi menjadi pelatih Inter:
“Ia menelepon saya dari Roma dan bilang, ‘Saya akan jadi pelatihmu. Kamu kapten saya.’ Lalu berkata, ‘Kalau kita melakukan ini, ini, dan ini, kita akan menang’,”
Zanetti menambahkan bahwa Mourinho meminta lima pemain tambahan kepada presiden klub saat itu untuk melengkapi skuad agar mampu menjuarai Liga Champions.
“Ia bahkan memberi kami CD sebelum pertandingan. Dia tahu segalanya. Ia benar-benar meyakinkan kami bahwa kami bisa juara,”
Kekalahan Terpahit di Final Liga Champions: “Kalah dari Man City Lebih Menyakitkan daripada PSG”
Saat ditanya kekalahan final mana yang paling menyakitkan antara melawan Manchester City (0-1) tahun 2023 atau Paris Saint-Germain (0-5) tahun 2025, Zanetti memberikan jawaban mengejutkan:
“Kekalahan dari City lebih menyakitkan. Kami bukan favorit, tapi membuktikan bahwa kami setara, bahkan lebih baik. Tapi tetap kalah. Melawan PSG? Itu malam di mana semuanya berjalan untuk mereka, dan tidak ada yang berhasil untuk kami,”
Zanetti menegaskan bahwa kekalahan itu menjadi pelajaran penting untuk terus berkembang:
“Kami harus bertanya pada diri sendiri apa yang masih kurang agar bisa mengambil langkah terakhir,”
Fanatik Latihan
Bicara soal gaya hidupnya, Zanetti menekankan pentingnya profesionalisme dan latihan keras sepanjang kariernya.
“Saya yakin latihan lebih penting dari pertandingan. Apa yang kamu kerjakan selama seminggu akan muncul di pertandingan. Kamu bisa saja kalah, tapi setidaknya kamu siap,”
“Bahkan saat liburan, istri saya tahu harus ada gym di dekat hotel. Saya fanatik latihan kekuatan karena itu mencegah cedera.”
Leave a Reply